Recommended
Blog Post
Indonesia’s upcoming presidential election carries high stakes, demanding strong leadership to address long-standing challenges in child malnutrition and stunting at this pivotal moment. The issue of child stunting has become a flash point among the numerous campaign pledges for health and nutrition repeatedly declared by all the candidates. But without real leadership, commitment, and grounded policy implementation, promises to secure the future of nutrition programs and to address child stunting in Indonesia may remain lip service. Indonesia’s next president has a watershed opportunity to transform rhetoric into reality, reaping the demographic bonus and achieving lasting progress for Indonesia’s next generation.
Child stunting—the failure to reach full growth potential—is a pernicious form of chronic undernutrition during the most critical periods of growth and development, particularly in the first 1,000 days of life. Although influenced by many factors, such as maternal health, inadequate dietary intake, infection, and suboptimal care practices, the persistence of child stunting is underpinned by deeper social and environmental determinants such as access to healthcare, education, and income. In Indonesia, child stunting is a major obstacle to human development, posing irreparable physical and neurocognitive impacts. This issue threatens to significantly undermine Indonesia’s potential to reap the demographic dividend by 2045, a crucial period where the number of working-age population will surpass the number of dependents, positioning the country for an era of optimal economic growth and societal advancement.
The challenge of national leadership and organizational fragmentation
The Indonesian government is implementing the National Strategy to Accelerate Stunting Prevention, with 22 ministers committed and approximately US$14.6 billion allocated to converge priority nutrition intervention. But critically, the initiative is hampered by a lack of clear and unified leadership. Currently, the authority is fragmented vertically at the national level and horizontally by the unequal capacity of local governments.
As an example, even a shared operational definition of child malnutrition differs between the ministries, resulting in different benchmarks and indicators of progress. No entity has the mandate to firmly lead and synchronize the efforts of all stakeholders, which complicates the effective mobilization and harmonization of resources. Each ministry and local government operate their own programs separately, leading to a landscape where strategies are not cohesive and collective impact is diminished.
Major reforms in the health workforce need strong leadership
To address child malnutrition in Indonesia, major reforms are needed in the health workforce and human resources, both health cadres and nutritionists. Both types of health workers require significant leadership to navigate inter-ministry politics, bureaucracies, and red tape.
Health cadres play an essential role in community health, including nutritional status monitoring and much more. Yet they lack adequate compensation and incentives, have an enormous workload, are poorly regulated, and do not competitively recruit next-generation cadres—all factors hindering their effectiveness. Inter-ministry ping-ponging of the responsibility and authority to upgrade health cadres has left health cadres in the lurch.
Professional nutritionists remain underutilized, are often reassigned to non-nutritional roles, and are unable to renew professional licenses under the new regulation, further reducing their employment.
Refrain from grandiose campaign pledges and prioritize feasible, evidence-based commitments
The campaign pledges offered by the presidential candidates warrant a critical evaluation as to whether they will truly combat stunting, with an eye on sustainability and value for money. Take one of the pledges to offer free milk and meal programs in schools. This pledge has an estimated daily cost of Rp 1 trillion (US$64.46 million) for 82.9 million beneficiaries; the yearly expenditure would soar to Rp 365 trillion (US$23.5 billion). By comparison, the entire health budget of Indonesia is Rp 186.4 trillion per year.
In addition to sustainability, value for money are other key considerations. There are more cost-effective interventions—meaning more health at lower cost—that should be prioritized if reducing stunting is the goal. Worse, if this pledge for free milk and school meals does not pass nutritional standards, it could potentially promote ultra-processed food and increase the risk of non-communicable diseases in the long term.
What’s needed from all the candidates are detailed plans that address the root causes of child stunting by offering feasible, sustainable, long-term solutions for addressing the nutritional challenges faced by Indonesian children. Meanwhile, voters need a critical eye to carefully evaluate each campaign’s pledges and not blindly believe in populist promises.
Design a rigorous result framework
The current monitoring and evaluation approach to nutritional problems in Indonesia is too narrowly focused on stunting as an outcome rather than other process indicators that address stunting. Further, subnational authorities are incentivized to underestimate stunting prevalence in order to prevent their budgets from being cut.
The next president has an opportunity to bring strong leadership that addresses the theory of change and processes that address stunting while creating subnational accountability and designing a better incentive system. Strong leadership is needed to address these questions of accountability and incentive compatibility.
Concluding remarks
As Indonesia approaches political renewal, the collective gaze of its citizens and leaders must not only be on the present but on creating a robust foundation for future generations. The strategy for reducing stunting should not be based on short-term pledges but rather a vision for nurturing the next generation to seize the maximum demographic dividend in 2045 and set a strong foundation for Indonesia’s human development. The next administration must transcend political rhetoric and control the power of informed policy, dedication, and concerted action to ensure lasting progress in addressing Indonesia’s stunting problem.
Pemilu Indonesia yang di depan mata membawa taruhan yang tinggi, memerlukan kepemimpinan yang kuat untuk menangani gizi anak di momen kritis ini. Isu stunting anak telah menjadi titik panas di antara berbagai janji kampanye untuk kesehatan dan gizi yang diulang-ulang oleh semua kandidat. Namun, tanpa adanya kepemimpinan dam komitmen yang kuat, serta implementasi kebijakan yang solid, masa depan program gizi dan penanganan stunting anak di Indonesia mungkin hanya akan menjadi retorika kosong. Presiden Indonesia selanjutnya memiliki kesempatan besar untuk mengubah wacana menjadi kenyataan, memetik bonus demografi, dan mencapai kemajuan yang berkelanjutan untuk generasi berikutnya Indonesia.
Stunting pada anak merupakan bentuk malnutrisi kronis selama periode paling kritis pertumbuhan dan perkembangan di 1000 hari pertama kehidupan. Meskipun dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kesehatan ibu, asupan makanan yang tidak memadai, infeksi, dan praktik perawatan yang tidak optimal, stunting anak dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial dan lingkungan yang lebih dalam seperti akses ke layanan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Di Indonesia, stunting anak merupakan rintangan besar untuk pengembangan manusia, menimbulkan dampak fisik dan kognitif yang tidak dapat diperbaiki dan mengurangi potensi bonus demografi pada tahun 2045.
Tantangan kepemimpinan nasional dan fragmentasi organisasi
Meskipun pemerintah Indonesia mempunyai Strategi Nasional untuk Percepatan Pencegahan Stunting dengan komitmen dari 22 menteri dan alokasi dana sekitar US$14,6 miliar untuk mengintegrasikan intervensi gizi prioritas, inisiatif ini terhambat oleh ketiadaan kepemimpinan yang jelas dan terpadu. Saat ini, wewenang terpecah secara vertikal di tingkat nasional dan secara horizontal oleh kapasitas pemerintah daerah yang tidak merata.
Sebagai contoh, definisi operasional stunting saja berbeda di antara kementerian, menghasilkan tolak ukur dan indikator kemajuan yang tidak seragam. Tidak ada satu entitas pun yang memiliki wewenang kuat untuk memimpin dan menyelaraskan upaya semua pemangku kepentingan secara tegas, yang mempersulit mobilisasi dan harmonisasi sumber daya secara efektif. Setiap kementerian dan pemerintah lokal menjalankan programnya masing-masing secara terpisah, menciptakan situasi di mana strategi tidak terkoordinasi dan dampak kolektif menjadi lemah. Indonesia membutuhkan kepemimpinan yang signifikan untuk mengatasi politik antar kementerian, birokrasi, dan hambatan administratif.
Reformasi besar tenaga kesehatan membutuhkan kepemimpinan kuat
Untuk mengatasi masalah gizi anak di Indonesia, reformasi besar diperlukan dalam SDM kesehatan, termasuk kader kesehatan dan ahli gizi. Kedua tenaga kesehatan yang langsung bersentuhan dengan masyarakat ini sangat krusial dalam mengatasi masalah stunting, namun kompleksitas masalah di tenaga kesehatan ini masih terus terjadi.
Kader kesehatan memegang peran penting dalam kesehatan komunitas termasuk pemantauan status gizi dan banyak lagi. Namun, mereka kekurangan kompensasi dan insentif yang memadai, memiliki beban kerja yang besar, regulasi yang kurang, dan tidak bisa merekrut kader generasi berikutnya secara kompetitif, semua faktor yang menghambat efektivitas mereka. Lempar-lemparan tanggung jawab antar kementerian dalam peningkatan kapasitas kader kesehatan telah meninggalkan kader kesehatan tanpa kejelasan.
Profesi nutrisionis yang mempunyai kompetensi utama dalam penanganan gizi kerap kali kurang dimanfaatkan, sering dialihkan ke peran yang tidak berkaitan dengan nutrisi, dan memiliki kesulitan memperbarui Surat Tanda Registrasi (STR) di bawah peraturan baru, yang semakin mengancam jumlah pekerjaan profesional bagi ahli gizi.
Hindari janji kampanye yang berlebihan dan utamakan komitmen yang realistis berbasis bukti
Janji kampanye yang ditawarkan oleh capres memerlukan evaluasi kritis apakah benar-benar dapat mengatasi masalah stunting. Salah satu contoh janji yang menjadi sorotan adalah janji menyediakan susu dan makanan gratis di sekolah. Jika dihitung dengan biaya harian sekitar Rp 1 triliun (US$64,46 juta) untuk 82,9 juta penerima manfaat, pengeluaran tahunan bisa melonjak hingga kira-kira Rp 365 triliun (sekitar US$23,5 miliar). Sebagai perbandingan, anggaran kesehatan APBN seluruh Indonesia adalah Rp 186,4 triliun per tahun.
Kelemahan utama program susu dan makan siang gratis sekolah adalah fokusnya pada anak-anak usia sekolah, bukan pada periode krusial seribu hari pertama kehidupan, yang merupakan jendela kunci untuk mengatasi stunting. Program yang lebih efisien dan hemat biaya seharusnya difokuskan pada periode awal ini, mengoptimalkan alokasi sumber daya untuk memerangi penyebab utama stunting, bukan mengalihkannya ke kelompok usia yang, meskipun penting, bukan target utama dalam pencegahan stunting. Terlebih, jika janji susu dan makanan sekolah gratis ini tidak memenuhi standar gizi, berpotensi mempromosikan makanan ultra-olahan dan meningkatkan risiko penyakit tidak menular dalam jangka panjang.
Secara keseluruhan, efisiensi biaya, keberlanjutan, dan efektivitas dalam mengatasi stunting bukanlah usulan yang kuat di antara program-program lain yang memungkinkan. Yang dibutuhkan dari semua kandidat adalah rencana rinci yang menangani penyebab utama stunting anak dengan menawarkan solusi yang realistis, berkelanjutan, dan jangka panjang untuk mengatasi tantangan gizi yang dihadapi anak-anak Indonesia. Sementara itu, para pemilih memerlukan pandangan kritis untuk secara cermat mengevaluasi setiap janji kampanye dan tidak dengan buta percaya pada janji-janji populis.
Menciptakan kerangka hasil yang menyeluruh
Metode pemantauan dan evaluasi program gizi di Indonesia yang berlaku saat ini terlalu terpaku pada hasil pengukuran stunting sebagai satu-satunya hasil yang diutamakan, sementara mengabaikan indikator-indikator proses yang bisa memberikan solusi terhadap stunting. Ditambah lagi, pemerintah daerah cenderung melaporkan angka stunting yang lebih rendah dengan tujuan agar anggaran mereka tidak dipangkas.
Presiden mendatang memiliki peluang besar untuk menunjukkan kepemimpinan yang mampu menciptakan perubahan dan menggarap upaya penanganan stunting yang berbasis bukti. Ini juga termasuk membangun tanggung jawab di tingkat daerah dan merumuskan sistem insentif yang sesuai. Kepemimpinan yang tegas sangat dibutuhkan untuk mengurai masalah akuntabilitas dan kesesuaian insentif ini.
Catatan penutup
Di ambang perubahan politik, Indonesia perlu memastikan bahwa fokus perhatian masyarakat dan para pemimpinnya tak hanya terjebak pada kondisi saat ini, melainkan juga pada pembentukan fondasi yang kuat bagi generasi yang akan datang. Langkah-langkah mengatasi permasalahan gizi harus diukur dari visi jangka panjang, yang tidak hanya berorientasi pada janji politik sesaat, namun juga pada upaya nyata untuk membangun generasi penerus. Generasi yang sehat dan terdidik akan menjadi kunci untuk memanfaatkan puncak bonus demografis pada tahun 2045 dan membangun keunggulan pembangunan manusia di Indonesia. Kabinet baru harus bergerak melampaui sekedar permainan kata dalam retorika politik, menuju kebijakan yang berbasis pada data akurat, komitmen yang kuat, serta aksi yang sinergis untuk memastikan kemajuan dalam menuntaskan masalah gizi anak yang dihadapi bangsa ini.
Disclaimer
CGD blog posts reflect the views of the authors, drawing on prior research and experience in their areas of expertise. CGD is a nonpartisan, independent organization and does not take institutional positions.
Image credit for social media/web: THANAGON / Adobe Stock