For Media Inquiries
Lauren Post
Media Relations Coordinator
(202) 416-4040
[email protected]
In May 2010, the Indonesian government announced a moratorium prohibiting district governments from granting new palm oil, timber and logging concession licenses in order to reduce greenhouse gas emissions from deforestation. In a new study, researchers revealed this climate policy has likely lowered Indonesia’s emissions since its inception in 2011, but Indonesia will need to expand the policy to reach its reduction targets. This is the first study to quantify the effectiveness of this policy.
Indonesia’s moratorium policy abated emissions due to deforestation by an estimated 1 to 2.5 percent between 2011 and 2015, according to the study’s researchers at the Center for Global Development, Conservation International, World Resources Institute, Duke University, the University of Maryland, and the Woods Hole Research Center.
However, Indonesia will not meet its emission reduction target of 26 to 41 percent by 2020 unless the current policy is extended and significantly strengthened to include deforestation in areas with pre-existing licenses or from unlicensed deforestation. Between 2000 and 2010, only 15 percent of greenhouse gases came from forests covered under the existing moratorium while 85 percent of greenhouse gas emissions came from forests not covered by the moratorium.
“Indonesia’s moratorium is probably having a modest benefit for the climate in that deforestation would likely be even higher without the moratorium,” said Jonah Busch, research fellow at the Center for Global Development and lead author of the study. “But Indonesia won’t be able to meet its climate targets without tackling unlicensed deforestation and existing licenses for deforestation.”
Approximately half of the world’s emissions from tropical deforestation come from two countries: Brazil and Indonesia. Halting deforestation in these two countries could offer around five percent of climate change mitigation. With Brazil significantly reducing its rate of deforestation over the past decade, a sharper focus has been placed on Indonesia to do the same.
In 2009, Indonesia’s former president Susilo Bambang Yudhoyono announced a national target of 26 to 41 percent emission reduction by 2020. In 2010, he instituted a moratorium on licenses for logging and clearing forests for oil palm and pulp and paper plantations within peat lands and unlogged forests. The policy is up for renewal in May 2015, when current Indonesia president Joko “Jokowi” Widodo will determine whether to keep the policy in place.
“Indonesia has the world’s largest potential to reduce emissions from deforestation, so a decision by President Jokowi to renew the moratorium policy or expand it can have global benefits,” said Busch.
Notes to Editors:
- Using a counterfactual scenario analysis, the study authors estimated that the moratorium policy, had it been in place from 2000 to 2010, would have reduced deforestation by 15 to 65 percent at oil palm sites, 31 to 56 percent at timber sites, and 3 to 10 percent at logging sites, reducing overall emissions by 2.5 to 7.2 percent over that decade. They then extrapolated those results forward to estimate the likely impact of the moratorium since 2011.
- The study further estimated that a hypothetical nationwide price on carbon emissions of $3.30-$19.45 per ton could have reduced emissions by an equivalent amount to the moratorium policy.
- This study was published by the Proceedings of the National Academy of Sciences on January 19, 2015. An electronic copy is available here: http://www.pnas.org/cgi/doi/10.1073/pnas.1412514112.
- To request an interview with lead author Jonah Busch, contact Lauren Post at [email protected] or +1 (202) 416-4040
Bahasa Indonesia
Penelitian Memperkirakan Kebijakan Iklim Indonesia Berhasil Mengurangi Emisi dari Penebangan Hutan; Pakar Menghimbau agar Kebijakan Diperluas
Pada bulan Mei 2010, pemerintah Indonesia mengumumkan sebuah moratorium yang melarang pemerintah daerah mengeluarkan izin baru konsesi kelapa sawit, hutan tanaman industri dan penebangan hutan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca akibat perusakan hutan. Dalam sebuah penelitian baru, para peneliti mengungkapkan bahwa kebijakan ini kemungkinan besar telah menurunkan emisi Indonesia sejak diterapkan pada tahun 2011, akan tetapi Indonesia perlu memperluas kebijakan ini agar mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca yang ditetapkan oleh pemerintah. Ini adalah penelitian pertama untuk menguantifikasi efektivitas kebijakan ini.
Kebijakan moratorium Indonesia telah menurunkan emisi akibat penebangan hutan dengan perkiraan sebanyak 1 hingga 2,5 persen antara tahun 2011 dan 2015 menurut para peneliti dari Center for Global Development, Conservation International, World Resources Institute, Duke University, the University of Maryland, serta the Woods Hole Research Center.
Akan tetapi, Indonesia tidak akan mencapai target penurunan sebesar 26 hingga 41 persen pada tahun 2020 kecuali kebijakan ini diperluas dan diperkuat secara signifikan dengan mencakup penebangan hutan di wilayah yang sudah berizin atau dari penebangan hutan tanpa izin. Antara tahun 2000 dan 2010, hanya 15 persen gas rumah kaca berasal dari wilayah yang tercakup dalam kebijakan moratorium, sementara 85 persen emisi gas rumah kaca berasal dari wilayah yang tidak tercakup dalam moratorium.
“Moratorium Indonesia mungkin menghasilkan manfaat bagi iklim, tapi tidak besar, dalam arti penebangan hutan mungkin akan lebih besar tanpa moratorium tersebut,” kata Jonah Busch, peneliti di Center for Global Development dan penulis utama artikel ini. “Tetapi Indonesia tidak akan mampu mencapai target iklim mereka tanpa mengatasi penebangan hutan tanpa izin serta penebangan hutan yang terdapat pada izin yang sudah ada.”
Hampir setengah dari emisi dunia akibat penebangan hutan tropis berasal dari dua negara: Brasil dan Indonesia. Menghambat perusakan hutan di kedua negara ini dapat mengurangi perubahan iklim sekitar lima persen. Dengan keberhasilan Brasil mengurangi laju deforestasinya dalam dasawarsa terakhir, fokus yang lebih tajam kini beralih ke Indonesia untuk melakukan hal yang sama.
Pada tahun 2009, mantan presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan target nasional penurunan emisi sebesar 26 hingga 41 persen pada tahun 2020. Pada tahun 2010, beliau menetapkan moratorium penundaan pemberian izin baru pada hutan alam dan lahan gambut. Kebijakan ini akan berakhir pada bulan Mei 2015, ketika presiden Indonesia saat ini Joko “Jokowi” Widodo harus menentukan apakah akan tetap mempertahankan kebijakan ini.
“Indonesia memiliki potensi terbesar di dunia untuk menurunkan emisi akibat penebangan hutan, sehingga keputusan Presiden Jokowi untuk memperpanjang kebijakan moratorium atau memperluasnya dapat menghasilkan manfaat global,” ujar Busch.
CATATAN KEPADA EDITOR:
- Dengan menggunakan analisis skenario kontrafaktual, para peneliti memperkirakan bahwa kebijakan moratorium ini, andai diterapkan sejak tahun 2000 hingga 2010, akan mengurangi deforestasi sebanyak 15 hingga 65 persen pada konsesi kelapa sawit, 31 hingga 56 persen pada konsesi hutan tanaman industri (HTI), serta 3 hingga 10 persen pada konsesi hak pengelolaan hutan (HPH), sehingga mengurangi emisi keseluruhan sebesar 2,5 hingga 7,2 persen selama dasawarsa tersebut. Kemudian para peneliti mengekstrapolasi hasil tersebut ke depan untuk memperkirakan kemungkinan dampak moratorium sejak 2011.
- Penelitian ini selanjutnya memperkirakan bahwa pengurangan emisi yang setara dengan kebijakan moratorium dapat dicapai dengan harga karbon sebesar $3,30-$19,45 per ton
- Penelitian ini dipublikasikan dalam jurnal ilmiah Proceedings of the National Academy of Sciences pada tanggal 19 Januari 2015. Jurnal dapat diakses secara elektronik pada tautan berikut: http://www.pnas.org/cgi/doi/10.1073/pnas.1412514112.
- Untuk wawancara dengan penulis utama Jonah Busch, hubungi Lauren Post di [email protected] atau +1 (202) 416-4040